Pengumuman,
bahwa praktikum ICT diadakan
pada tanggal 5 dan 12 januari 2011

waktu : 10.30-12.30 , Ruang: PKSI, SIC

Kamis, 30 Desember 2010

Agama Teknologi dan Budaya


oleh: Kuntowijoyo
Agama memberi makna. Teknologi memberi kemudahan. Budaya memberi jati diri.
Pembangunan kita adalah pembangunan manusia seutuhnya, spirituel dan materiel. Pembangunan itu dalam kebijakan pendidikan kita diimplementasikan dengan jalan mendorong tumbuhnya Imtak (iman dan takwa) dan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), sehingga agama dan teknologi mendapat tekanan yang berlebihan. Sekolah sekolah unggulan yang dibangun pemerintah dan masyarakat juga punya keunggulan dalam agama atau teknologi. Kalau kebijakan yang demikian berjalan terus, kita akan mendapatkan generasi-generasi dengan Imtak dan Iptek tinggi, tetapi tidak menghargai ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan budaya. Kita bermaksud mengatakan bahwa budaya perlu dimasukkan dalam program “unggulan”. Selama ini hanya Bali yang menjadikan budaya sebagai program unggulan, itupun lebih dengan pertimbangan pariwisata daripada
pendidikan.
Agama itu bersifat abadi (dari segi waktu) dan universal (dari segi ruang). Teknologi bersifat universal (dari segi ruang). Al-Quran dan Injil itu berlaku pada Zaman Pertengahan dan Zaman Modern. Allah itu bisa disebut Tuhan atau the Lord atau Hyang Widi Wasa. Kapal terbang itu bikinan IPTN atau Boeing sama saja, keduanya perlu sertifikasi internasional, mempunyai standar yang sama.
Agama itu sama, kapan saja, di mana saja. Teknologi, itu sama saja di mana pun. Satu satunya yang dapat membedakan Indonesia dari Amerika atau Rusia atau Jepang atau Perancis ialah budaya. Budaya itu, berbeda dengan agama dan teknolgi, bersifat partikuler. Agama dan teknologi tidak dapat menjadikan orang yang tinggal di Nusantara orang Indonesia. Hanya dengan budaya-lah orang dapat menjadi orang Indonesia, mempunyai jati diri, kepribadian. Pembentukan kepribadian adalah salah satu sub-sistem dalam sistem Pendidikan Nasional kita. Karena itu program jangka panjang dan jangka pendek pendidikan kita haruslah ketiga-tiganya, yaitu Imtak, Iptek, dan budaya. Tidak ada kekhawatiran dengan Imtak, karena pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah religius. Tetapi, yang harus betul-betul dijaga ialah jangan sampai Iptek,
terutama teknologi, menjadi sebuah “ideologi”.
Tulisan di bawah adalah sebuah tinjauan tentang sumbangan agama pada zaman modern (karena biasanya agama oleh sarjana Barat hanya dipandang sisi “gelapnya”, sedangkan kita ingin meyakini bahwa agama berguna), kritik atas teknologi (karena biasanya kita hanya melihat sisi “terang” dari teknologi sebagai sesuatu yang sangat berguna), dan bagaimana budaya “mengindonesiakan” orang Indonesia.
AGAMA
Agama itu sekaligus radikal dan konservatif. Radikal, karena mempersoalkan asal-usul dari gejala-gejala yang ada di permukaan. Yang ada di permukaan. Yang ada dalam realitas sehari-hari (manusia dan alam) perlu diketahui akar-akarnya yang paling dalam. Konservatif, karena percaya bahwa dalam realitas yang berubah, ada yang tetap. Yang tetap itu harus dipertahankan kehidupannya, dipelihara kelestariannya, dan dikembangkan keberadaannya. Sifat radikal itu sudah ditunjukkan bahkan pada ayat-ayat yang pertama turun. Dalam Surat Al-’Alaq, 96: 1, 2 Allah sudah menyuruh berpikir tentang Yang Menciptakan. Ayat-ayat pertama juga menjelaskan bahwa ada hubungan antara gejala dan asal-usul. Ayat itu dilanjutkan dengan, “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Pemurah”. Hubungan itu bersifat atas bawah, pemberi dan penerima, yang secara aktif terus-menerus bekerja. Bukan hubungan yang “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”, atau sekali mengerjakan sudah itu pensiun. Di sini ditunjukkan tentang otoritas yang mutlak, sebuah monoteisme yang radikal.
Sifat konservatif itu ditunjukkan dengan diktum, laa tabdiila li khalqillah atau “tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah” (Ar-Ruum, 30: 30). Sifat konservatif itu ialah karena manusia punya fitrah, sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam ayat itu. Meskipun manusia telah berubah berturut-turut dari pengumpul ke shifting agriculture ke agraris ke industrial ke pasca industrial, tetapi ada fitrah yang tetap. Barangkali orang sudah menggunakan bom nuklir dan bukan lagi kayu besar sebagai cara menakut-nakuti lawan, barangkali orang sudah naik pesawat terbang dari Makkah ke Madinah dan tidak lagi naik unta, tapi orang masih juga takut-berani, sedih-gembira, cemas-harap dengan cara sama. Orang masih juga menangis atas kematian dan tertawa atas pertemuan. Ada yang tetap pada manusia.
Agama punya makna kolektif dan individual. Secara kolektif agama menyebut manusia dengan insaan apa-bila yang dimaksud jenisnya dan qaum apabila yang dimaksud adalah kelompoknya. Banyaknya tidak terhitung yang termasuk larangan dan perintah untuk individu, karena memang kebanyakan agama adalah untuk individu. Tetapi, itu sama sekali tidak berarti bahwa agama hanya mengatur individu, tidak mengatur kolektivitas.
Sebagai agama kolektif, agama mendorong terbentuknya sebuah civic society. Ini terjadi pada abad ke-7 ketika Arabia masih terpecah-pecah dalam masyarakat kesukuan. Pada abad ke-16 di Pilipina Selatan sudah ada bentuk negara, sementara di Pilipina Utara masih terpecah dalam ethnic societies. Terbentuknya satuan yang disebut negara itu menyebabkan ada perlawanan yang terorganisir pada penetrasi asing di Pilipina. Tugas kolektif kita sekarang ialah menjadikan agama sebagai basis pembentukan civil society.
Tanpa social control kolektif, pastilah orang-orang miskin sudah menjarah harta orang orang kaya. Kekayaan pada hakekatnya adalah pencurian; orang-orang kaya telah merampok harta orang miskin, demikian satu pendapat kaum Sosialisme Utopi. Maka orang-orang kaya mempunyai dosa kolektif. Negara, tentara, dan hokum tidak lain adalah alat pelindung bagi orang kaya, kaum borjuasi, kata kaum Marxis. Agama tidak membenarkan pendapat semacam itu, dan mengukuhkan kesucian harta. Maka, sebenarnya negara, tentara, hukum, dan orang-orang kaya secara teoretis berhutang budi pada agama. Tanpa agama akan terjadi chaos dan anarki. Di Indonesia, “hutang budi” semacam itu baru dibalas sejak 1990, setelah sebelumnya justru diingkari.
Secara individual, agama menjadi penafsir realitas. Semua realitas itu sampai kepada individu pasti melalui sesuatu, tidak langsung begitu saja. Filsafat, bahasa, budaya, ilmu, dan agama menjadi perantara antara rea-litas dan individu. Al-Quran itu kitaab, hudaa, hikmah, furqaan, dan sebagainya. Satu saja, misalnya furqaan, artinya “pembeda”. Tentang premarital sex, ilmu akan berbeda dengan agama dalam menafsirkan realitas itu.  kategoris Al-Quran menyebutnya sebagai zina, yang haram. Agama juga berguna bagi pertumbuhan pribadi. Banyak cara telah ditempuh agama untuk mengembangkan pribadi. Tasauf, taqarrub, dan ma’rifatullah adalah contoh bagaimana manusia dapat tumbuh dari nafsu amarah, nafsu lawwamah, ke nafsu mutmainah. Agama memberi petujuk bagaimana orang dapat berkembang dari memiliki sifat madzmumah ke sifat mahmudah. Akhirnya agama juga memberikan kontrol individual. Kesetiaan, martabat, solidaritas, keamanan, kepuasan, kebahagiaan, kebaikan-hati, dan sebagainya hanya
mungkin kalau ada kontrol individual.
TEKNOLOGI
Banyak orang tidak menyadari bahwa teknologi adalah pedang bermata dua. Di satu pihak ia mempermudah manusia (pesawat terbang mempermudah transportasi). Di lain pihak, kalau kita menghubungkan teknologi dan masyarakat, seperti dikatakan oleh Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas dari mazhab Frankfurt, teknologi dapat menjadi alat dominasi. Dalam konteks Indonesia itu jelas. Ketika mulai 1975-an pabrik-pabrik tenun didirikan oleh pemodal besar, maka pabrik-pabrik tenun dengan modal menengah dan kecil di Majalaya, Pekalongan, dan Klaten runtuh. Akal yang digunakan oleh mereka yang survive ialah kembali ke craft atau menghindar dari bersaing dengan pemodal besar dengan teknologi tinggi.
Dari sisi peradaban, teknologi dapat menjadi sebuah ideologi, menciptakan manusia satu dimensi dengan hanya kesadaran teknokratis, technocratic consciousness — demikian Jurgen Habermas. Manusia yang demikian hanya peka terhadap teknologi, tapi tidak kepada aspek hidup yang lain. Dalam rumusan
GBHN, manusia itu tidak utuh. Kesadaran teknokratis itu juga telah masuk dalam dunia pendidikan. Kadang-kadang kita tidak sadar bahwa reward system kita telah cenderung memberi upah dan kehormatan yang berlebihan pada ahli teknik. Besarnya persentage anak-anak SMU yang memilih A-1 (IPA) dan kemudahan yang didapatnya (dari A-1 dapat memilih masuk ke mana saja) adalah gejala kesadaran teknokratis itu.
Teknologi telah menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan dan menjauhkan manusia dari alam. Pencemaran terhadap lingkungan itu telah melahirkan ge-rakan-gerakan seperti Greenpeace (gerakan anti-nuklir), pencinta alam (yang lobinya di dunia Barat sa-ngat kuat, hingga sering dianggap merugikan – Dunia Berkembang), pencinta binatang, dan Partai-partai Hijau di Negara-negara Eropa. Gerakan semacam ini pula yang melahirkan peraturan-peraturan anti polusi, anti perusakan lapisan ozon, soal pembuangan limbah industri, dan sebagainya. Kesadaran bahwa teknologi telah menjauhkan ma-nusia dari alam, sudah mulai sejak awal abad ini. Pikiran untuk back to nature sudah ada pada karya sastra Jack London (1876-1916). Sekarang herbal medicine sudah popular di negara-negara maju, demikian juga pengobatan alternatif. Dalam label makanan jadi no preservative added banyak menjadi pilihan. Hampir semua iklan pakai kata “alami”. Teknologi yang membawa berkat, rupanya banyak disingkiri dalam beberapa hal. Pada tahun 1970-an gerakan commune di Amerika selain merupakan reaksi terhadap kehidupan berjuasi, juga reaksi terhadap teknologi.
Dalam pemikiran, reaksi terhadap ilmu dan teknologi berbentuk reaksi terhadap Positivisme abad-19. Ternyata manusia tidak hanya digerakkan oleh akalnya, tapi juga oleh keinginan untuk berkuasa the Will to Power (Friedrich Nietzsche, 1844-1900), elan vital (Henri Bergson, 1859-1941), bawah-sadar (Sigmund Freud, 1856-1939), dan keinginan untuk percaya (Wiliam James, 1842-1910). PD II membuktikan bahwa teknologi juga mampu membunuh manusia dalam jumlah yang tak terbayangkan sebelumnya. Aliran Frankfurt dengan Critical Theory merupakan kritik yang jelas terhadap teknologi.
Kritik terhadap teknologi juga muncul dari pemikir keagamaan Katolik Perancis, Jacques Ellul, yang menulis Technological Society (New York: Vintage Books, 1964). Di antaranya teknologi akan menyebabkan rekayasa teknis atas manusia. Hasilnya adalah I’ home - machine yang sudah kehilangan kemanusiaannya Akhirnya, kita ingin bersemboyan, “Tidak hanya dengan teknologi saja”.
BUDAYA
Kita tidak bisa membayangkan bagaimana manusia hidup tanpa kebudayaan, tanpa simbol. Ernst Cassirer dalam An Essay on Man (1956) mengemukakan bahwa simbol itu meliputi agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mite, dan bahasa. Kita masih dapat menambahkan upacara dan perayaan (karnaval) yang merupakan bagian penting dari
masyarakat.
Untuk keperluan ini kita akan membicarakan budaya keindahan, yaitu seni. Tanpa seni, segala sesuatu akan kita terima secara wadhag, apa adanya, dan mentah. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kita akan makan, tanpa seni bujana. Bagaimana kita akan membungkus diri tanpa seni busana. Mungkin kita masih tinggal di dalam gua atau di atas pohon, andaikata tidak ada seni arsitektur. Seni membuat hidup lebih nyaman. Konon, karena kenyamanan itulah nenek moyang manusia turun dari pohon dan keluar dari gua. Itu baru applied arts. Bujana, busana, dan wisma itu yang sanggup menjadikan orang di ujung utara Indonesia bernama Aceh. Itu pula yang menjadikan orang di Sumatera Barat orang Padang. Dan di tempat lain, orang lain.
Ada lagi symbolic arts, seperti sastra, lukis, ukir, patung, musik, nyanyi, teater, dan tari. Dari sastra saja kita kenal puisi, novel, dan drama. Pendidikan umum kita sangat mundur jika dibandingkan dengan yang lain, bahkan dengan sesama negara berkembang lain. Kita terlalu sedikit memberikan tekanan pada symbolic arts, terdesak oleh kepandaian tanpa wajah Indonesia yang bernama IPA. Di Malaysia, setiap lulusan SMU sudah membaca sedikitnya 40 novel. Di Indonesia satu pun tidak, di SMU pelajaran sastra jadi satu dengan pelajaran bahasa! Kita sungguh khawatir, anak-anak kita tidak lagi menjadi anak Indonesia! Simbol adalah sensibility kita, adalah identitas kita. Tanpa simbol kita akan kehilangan diri, menjadi orang asing di rumah sendiri.
Dengan simbol kita menjadikan yang sehari-hari menjadi sublim (adiluhung). Apa yang biasa, bersahaja, menjadi bentuk baru yang indah. Dengan simbol kita membuat “yang cepat berlalu” menjadi abadi. Mungkin kita tidak sadar bahwa cemara yang diterpa angin mempunyai keindahan sampai membaca sajak Chairil Anwar yang menulis, “Cemara menderai sampai jauh,” atau suatu kali seorang komponis akan mengabadikannya lewat aransemen musik. Mungkin kita tidak sadar bahwa mendung juga ciptaan Tuhan yang bisa dinikmati sampai kita nonton tari Jawa “Anglir Mendhung”. Tidak banyak orang yang sadar bahwa hidup berirama, hidup itu indah. Kita mungkin berkomentar, “Persetan dengan hal yang remeh-temeh. Aku ingin membuat kereta api yang
tercepat di dunia!”
Barangkali kita lupa bahwa kebahagiaan kita terletak pada barang yang “remeh-temeh”: apakah cinta kita terbalas, apakah doa kita terkabul, dan apakah besok masih ada hidup.  Mungkin penghuni Negara Berkembang hanya sibuk berproduksi, sementara para turis dari Negara Maju menikmati hasil produksi kita. Kita lupa bahwa suatu kali kita akan sampai pada tahap pasca-industri di mana produksi simbol lebih penting dari produksi barang. Kita cemas, jangan-jangan waktu dunia me-merlukan produk kebudayaan kita, kita sudah tak punya apa-apa lagi untuk ditawarkan; ironinya,
justru karena pendidikan kita “berhasil”.
KESIMPULAN
Pembangunan manusia seutuhnya perlu mendapat substansi baru. Selama ini kita hanya mementingkan agama sebagai implementasi dari pembangunan spiritual, dan menekankan Iptek sebagai implementasi dari pembangunan materiel. Kita melupakan amanat GBHN tentang pembangunan kepribadian, yang hanya bisa dikerjakan
lewat pendidikan kebudayaan.
Seorang wisman dari Belanda pada tahun 2025 — lima tahun sesudah ada free trade  mencatat dalam buku hariannya tentang kunjungannya ke Yogyakarta: “Betul mereka survive, tapi harus dibayar mahal. Dari Jakarta ke Yogyakarta, saya naik Elang N-2130, buatan Indonesia; saya bangga dengan anak negeri ini. Turun dari pesawat saya duduk di restoran. Saya memesan gudeg. ‘Maaf, Tuan. Tetapi gudeg tidak dijual lagi di sini. Pesanlah sukiyaki atau teriyaki, kata penjaga restoran dengan bahasa Inggris yang sempurna. Saya menginap di sebuah hotel di pantai Parangtritis. Rombongan besar anak muda sedang berlatih silat. Saya tanya, ‘Aliran apa, apa Sinar Putih?’ Jawab salah satunya, ‘Memang kakek saya belajar Sinar Putih, tapi kami belajar silat Shaolin’. Ada tempat bernama Indonesia, ada negara bernama Indonesia, ada penduduk
bernama Indonesia, tetapi tidak ada lagi orang Indonesia.
Saya menyesal telah ke sini, rasanya

13 komentar:

  1. antara teknologi budaya dan agama harus balance, agar tidak terjadi kesenjangan sosial yang berkepanjangan..

    BalasHapus
  2. Antara agama, teknologi, dan budaya adalah merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Karena tanpa teknologi agama tidak akan berkembang, sedangkan tanpa agama teknologi akan buta. sedangkan budaya sendiri merupakan bagian dari agama dan teknologi lahir dari adanya budaya.

    BalasHapus
  3. Dari artikel di atas, saya dapat mengerti bahwa betapa pentingnya sebuah keharmonisan antara agama, budaya dan teknologi. Agama dan budaya dapat menunjukkan identitas diri, siapakah jati diri kita? orang mana kita? Dan dengan teknologi kita dapat mengenal kita berada pada sebuah waktu yang dalam setiap periodenya ada agama dan budaya yang semakin berkembang. Namun, yang sangat saya khawatirkan adalah ketika agama, budaya dan teknologi tidak lagi dapat berjalan secara harmonis karena sifat negatif manusia yang tidak dapat dikendalikan lagi oleh agama dan budaya, maka teknologi pun juga akan mengalami kenegatifan.
    So, semuanya akan terasa indah dalam kehidupan yang harmonis dan seimbang.

    BalasHapus
  4. emm....
    stlah membaca artikel di atas....
    saya pikir ketika teknologi budaya dan agama berjakan secara selaras maka akan terbentuk suatu struktur tatanan yang harmonis sebab antara ketiganya terdapat keterkaitan yang akan saling melengkapi.
    namun jangan sampai terjadi kesenjangan antara ketiganya ..
    haduh pasti menimbulkan hal-hal negatif...
    citra bangsa pasti akan luntur...

    BalasHapus
  5. agama... teknologi... dan budaya... saling berkaitan,,,kita tidak boleh mengabaikan salah satu dari semua itu. ketiga-tiganya harus bisa dikomposisisikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan.. bila ketiganya bisa saling menunjang maka akan tercipata kehidupan yg lebih baik....

    BalasHapus
  6. saddam nasrullah(09480098)mengatakan :antara agama, teknologi,dan budaya terdapat kesamaan dan perbedaan, agama menciptakan teknologi dan budaya sedangkan teknologi dan budaya tidak dapat menciptakan agama.

    BalasHapus
  7. dari uraian diatas: agama, teknologi, dan budaya dari sebagian sisi memiliki kesamaan dan juga perbedaan.jika agama orang tidak mengkhawatirkan akan hilang ataupun musnah akan tetapi lebih bersifat statis tetapi orang takut jika teknologi dan budaya akan memgalami perkembangan atau akan hilang.

    BalasHapus
  8. siti nur hidayati (09480110)
    dari artikel di atas yang dapat saya fahami adalah bahwasannya antara agama, buday, dan teknologi itu saling berkaitan antar satu sama lain, tetapi ketiga-tiganya itu harus berjalan secar berkesinambungan.

    BalasHapus
  9. Saya sangat setuju jika agama, teknologi dan budaya dapat berjalan dengan seimbang. Maka, hendaknya kita dapat meningkatkan kompetensi kita di bidang teknologi, pemahaman dan pengamalan agama, serta mengapresiasi dan bangga dengan budaya yang kita miliki...
    Siti Fatimah (09480074)

    BalasHapus
  10. Antara agama, budaya dan teknologi memiliki keterkaitan satu sama lain. jadi kita tidak boleh hanya mementingkan salah satunya saja. Jadi dalam pelaksanaannya, harus ada keseimbangan antara ketiganya. sehingga kita dapat menggunakannya secara tepat guna.

    BalasHapus
  11. gunakan teknologi untuk kemaslahatan dan tegakkan amar ma'ruf nahi munkar dengan perpaduan antara agama,budaya dan teknologi

    BalasHapus
  12. agama, teknologi dan budaya adalah sebuah hal yang saling berkaitan dan saling berkesinambungan. Supaya dapat kita gunakan secara tepat guna dan seimbang.

    BalasHapus
  13. agama teknologi dan budaya adalah sesuatu yang saling bersinaggungan.,karena agama tanpa tekhnologi sama aja bohong dan tekhnologi tanpa adanya agama sama aja dengan omong kosong.,dan budaya merupakan pengantar dari keduanya tersebut./

    BalasHapus

Jadwal TIK

ICT – 2010

Pertemuan ke

Waktu

1

16 Desember 2010 (Kamis) – Bu Isti

2

23 Desember 2010 (Kamis) – Bu Isti

3

25 Desember 2010 (Sabtu)

4

28 Desember 2010 (Selasa) – on line

5

30 Desember 2010 (Kamis) – Bu Isti

6

31 Desember 2010 (jumat) – on line

7

1 Januari 2011 (Sabtu) -

8

4 Januari 2011 (selasa) – Praktik / PKSI / Mhs Eko dkk,

9

5 Januari 2011 (Selasa) – Praktik / PKSI / Mhs Eko dkk,

10

6 Januari 2011 (Kamis) – Bu Isti

11

8 Januari 2011 (Sabtu) – Presentasi 1 – Bu Isti / Mbak Zeni

12

8 januari 2011 (Sabtu) – Prsentasi 2 – Bu Isti / Mbak Zeni

13

13 Januari 2011 (Kamis) – Bu Isti

14

15 Januari 2011 (Sabtu) – Presentasi 3 – Bu Isti / Mbak Zeni

Cadangan 1

15 Januari 2011 (Sabtu) – Presentasi 4 - Bu Isti / Mbak zeni

Cadangan 2

6 Januari 2011 (Kamis) – pk. 13.00 – Presentasi 5 – Bu isti / Mbak Zeni

UTS

Akhir Desember 2010 – Take home

UAS

Catatan: 19 Januari 2011 Kuliah terakhir